Jumat, 17 Oktober 2014

Hadits Ma'mul Bih dan Hadits Ghairu Ma'mul Bih

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadits, oleh umat Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan didalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termasuk dalam Al-Qur’an.
Salah satu kajian menarik dalam ilmu hadits adalah meneliti hadits ditinjau atau diterimanya sebagai hujjah atau dasar hukum ajaran Islam. Terkait dengan sisi kehujjahannya baik itu hadits ma’mul bih dan ghairu ma’mul bih.
Kualitas  keshahihan  suatu  hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama  hadits-hadits  yang  bertentangan  dengan  hadits,  atau dalil lain yang lebih  kuat. Dalam  hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah atau tidak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits ma’mul bih dan gairu ma’mul bih?
2.      Hadits apa saja yang termasuk kedalam ma’mul bih dan ghairu ma’mul bih?
3.      Apa yang dimaksud dengan hadits muhkam dan hadits mukhtalaf?
4.      Apa yang dimaksud dengan hadits nasikh dan hadits mansukh?

C.    Tujuan
1.      Dapat membedakan antara hadits ma’mul bih dan gairu ma’mul bih
2.      Untuk mengetahui hadits yang ma’mul bih dan yang ghairu ma’mul bih
3.      Dapat membedakan antara hadits muhkam dan hadits mukhtalaf
4.      Dapat membedakan antara hadits nasikh dan hadits mansukh


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Ma’mul Bih
Hadits Ma’mul Bih adalah hadits yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat diamalkan. Yang termasuk katogori ini meliputi:
1.      Hadits Muhkam
Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan  muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini,  sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
Contohnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفْ حَدَّثَنَا اللَيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيْدُ الْمَقْبَرِي اَبِي شَرِيْحِ العَدَوِي قَالَ سَمِعْتُ أُدْنَاي وَاَبْصَرَتِ عَيْنَاي حِيْنَ تَكَلَّمُ النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرَةِ جَارَهَزَ.....(البُخَارِي)
“ telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, menceritakan kepada kami al-Laits, ia berkata , bercerita kepada Said al-maqburi,dari Abu Suraih al-Adawi, ia berkata, saya mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku manakala Nabi S.A.W bercakap-capak beliau S.A.W bersabda:” barang siapa percaya kepada allah dan hari ahir, hendaklah ia memulyakan tetangganya”. (H.R bukhori)
2.      Hadits Mukhtalaf
Mukhtalaf artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan  untuk  dikompromikan  antara  keduanya.  Kedua  buah  hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
Untuk mendudukan hadits-hadits yang mukalaf ini para ulama’ mengunakan dua cara yaitu:
·         Thariqotul jam’i, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang kelihatan berlawanan yang kemudian didudukan satu-persatu sehingga semua hadits tersebut dapat dipakai.
·         Thariqotut tarjih, yaitu hadits-hadits yang dhahir kelihatan bertentangan satu dengan yang lain kemudian dicari keterangan yang paling kuat.
Dalam menyikapi hadits atau riwayat yang muktalif para ulama’ selalu memakai thariqatul jam’i lebih dahulu, karena dengan cara ini semua dalil dapat dipakai. Setelah benar-benar tidak ada jalan untuk menjama’ baru mereka menempuh cara thariqatut tajrih sebagai usaha terahir.
Contohnya:
حَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَ اَخْبَرَنَا  دَاوُدُ بْنِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَعَّنْ عُمَرُو بْنُ جَابِر بْنُ رَيْدِ أَبِي الشَعْثَاء عَنْ اِبْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ تَزَوَّجَ رَسُوْلَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ (مَسْلِم)
“.... dari Ibnu Abbas Bahwasannya Rasulullah telah menikahi maimunah, sedang
beliau dalam ihram.(H.R Muslim)
......عَنْ يَزِيْدُ بْنِ الأَصِم عَنْ مَيْمُوْنَةِ قَلَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ وَهُوَ حَلَالٌ(مُسْلِم)
“dari yazid bin asham dari maimunah, ia berkata rasulullah saw menikahiku sedang beliau sedang dalam ihlal(keluar dari ihram).” (H.R Muslim)

Kedua riwayat tersebut drajatnya sama-sama shahih. Dan jika diihat terdapat pertentangan antara keduanya. Oleh karena itu, para ulama’ ada yang mengunakan thariqatul jam’i ada yang thariqatut tajrih.
3.      Hadits Rajih
Hadits Rajih yaitu sebuah hadits yang  terkuat  diantara  dua  buah hadits  yang  berlawanan maksudnya. Riwayat yang tidak dipakai dinamai marjuh artinya yang tidak diberati, yang tidak kuat.
Contoh :hadits tentang riwayat yang mengatakan Nabi menikah saat ihlal. Riwayat yazid bin asham itu disebut rajih dan riwayat ibnu abbas di sebut marjuh.
4.      Hadits Nasikh
Hadits Nasikh yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Hadits yang dihapuskan ketentuan hukumnya dinamakan mansukh.
            Contohnya:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمُ لَايَأْكُلَنَّ اَحَدُكُمْ مِنْ نُسْكِهِ بَعْدَ ثَلَاثٌ (الشَافِعِي)
“Rasulullah saw bersabda : janganlah salah seorang diantara kamu memakan daging kurban sudah tiga hari.” (imam syafi’i)
Larangan memakan daging kurban yang sudah tiga hari itu disebut “ hukum”.       
Kemudian hukum dihapuskan oleh Nabi sendiri dengan sabdanya:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ لحُوْمِ الأَضَاخِي اِنْ لَاتَكُوْلَهَا بَعْدَ ثَلَاثُ فَكُلُوْا وَانْفِيْعُوْا بِهَا فِى اِسْفَرِكُمْ
 (الإِعْتِبَار)
“aku pernah melarang kamu tentang daging kurban bahwa jangan kamu makan dia sesudah tiga hari, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dalam pelayaran-pelayaran kamu.” (al-I’tibar)

Hadits yang pertama dinamakan mansukh, artinya yang dihapuskan karena hukum yang ada padanya sudah tidak terpakai lagi. Hadits yang kedua di sebut nasikh, yang menghapuskan hukum yang ada pada hadits yang pertama.

B.     Hadits Ghairu Ma’mul bih
Hadits ghairu ma’mul bih ialah hadits hadits maqbul yang tidak bisa di amalkan. Yang masuk kategori ini melipiti:
1.      Hadits Mutasyabih
Matasybih artinya yang samar. Yakni hadits yang samar/ sukar dipahami dan tidak bisa diketauhi maksud dan tujuannya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
Contohnya:
اِنَّهُ ليعان عَلَى قَلْبِي وَاِنِّي لِاَسْتَغْفِرُ الله فِي الْيَوْمِ مِائَة مَرَّة (مُسْلِم)
sesungguhnya tertutup hatiku. Dan aku akan meminta maaf kepada allah dalam sehari seratus kali” (H.R Muslim)
Arti hadits tersubut sudah jelas tetapi tentang maksudnya dan tujuanya para ulama’ berbeda pendapat. Dalam sarah muslim terdapat enam pendapat hadits tersebut.
Hadits mutasyabih sedikit sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang muhkam. Sebagian besar mutasyabih itu terdapat pada persoalan-persoalan yang gaib-gaib.
2.      Hadits Mutawaqqaf fihi
Hadits mutawaqqaf fihi yaitu dua buah  hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua  hadits ini hendaklah dibekukan sementara.
3.      Hadits Marjuh
Hadits marjuh yaitu sebuah hadits maqbul yang  ditenggang  oleh  hadits  Maqbul  lain yang lebih  kuat.  Kalau  yang  ditenggang  itu  bukan  hadits  maqbul, bukan disebut hadits marjuh.
4.      Hadits Mansukh
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni hadits maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
Contohnya:
Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Ibn Majah
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ وَدَاوُدُ بْنُ رَشِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
 بْنُ بِشْرٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ َحْأَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمجُومُ
Telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Muhamamd Ar Raqqi dan Dawud bin Rasyid keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Mu'ammar bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Bisyr dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang membekam dan yang dibekam semuanya batal”
Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang diriwayatkan Imam Tirmidzi 
حَدَّثَنَا بَشَر بْنُ هِلَال البَصْرِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ بْنُ سَعِيْدِ حَدَّثَنَا أَيُوْبِ عَنْ عِكْرِمَةِ عَنِ بْنِ عَبَّاس قَالَ اِحْتَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُحَرِّمٌ صَائِمٌ
Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits  pertama berisi batalnya puasa orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur  Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyahmaka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hadits Ma’mul Bih adalah hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat diamalkan.
Hadits ghairu ma’mul bih ialah hadits maqbul yang tidak bisa di amalkan dan tidak bisa menjadi hujjah.
Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun.
Mukhtalaf artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
Hadits nasikh yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Hadits mansukh secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yaitu hadits maqbul  yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.

B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amiiieeen......



DAFTAR PUSTAKA

H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus. 1984. Ilmu Mustholah Hadis. Jakarta: PT Hadikarya Agung.
Saeful Hadi. 2013. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Sabda Media.
Alawy Syihab. 2013. Hadits Maqbul dan Mardud. (onlen). (http:// Hadist maqbul dan mardud - Education Blog.htm). Diakses 29 juli 2013.

Drs. H. Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.